The Art of Storytelling: Bagaimana Mendapatkan Perhatian Audiens dengan itu
Barangkali, setiap orang “bisa” bercerita. Masalahnya, tidak setiap orang mampu menarik perhatian audiens untuk mendengarkan cerita mereka. Jadi, “bisa” saja tidak cukup. Butuh sebuah “seni” untuk mampu “menghipnotis”...
Barangkali, setiap orang“bisa” bercerita. Masalahnya, tidak setiap orang mampu menarik perhatian audiens untuk mendengarkan cerita mereka. Jadi,“bisa” saja tidak cukup. Butuh sebuah“seni” untuk mampu“menghipnotis” para audiens.
Bisakah saya menyita perhatian Anda? Ya. Kenapa saya begitu yakin? Karena saya telah mempraktikkannya sejak awal artikel ini. The art of storytelling, bagaimana cara mendapatkan perhatian audiens lewat seni bercerita.
Apa jadinya jika storytelling digabungkan dengan bisnis? Bagaimana cara“menjual” lewat metode ini? Jika Anda tertarik untuk tahu lebih banyak, silakan luangkan waktu sejenak untuk membaca artikel ini. Apa hal pertama yang perlu kita pelajari?
Kemauan audiens dan mesin pencari
Memenuhi kemauan audiens dan mesin pencari bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kenapa? Coba perhatikan dua pertanyaan dasar berikut ini:
Apa yang audiens inginkan? Jawabannya: cerita yang asli dan konten yang berharga
Apa yang mesin pencari inginkan? Jawabannya: konten yang panjang dan unik untuk memperkuat klaim data yang relevan atas hasil pencarian
Pentingnya kemampuan storytelling (wikimedia.org)
Nah, dari dua kebutuhan dasar di atas saja sudah berbeda. Jika tidak berhati-hati, maka yang Anda dapatkan hanya sebuah kontradiksi. Lalu bagaimana?
Untuk bisa mendapatkan perhatian mesin pencari dan juga para audiens, Anda membutuhkan modal yang cukup“besar dan kuat”. Caranya dengan mengumpulkan lebih banyak data dan fakta. Coba bayangkan, Anda memiliki begitu banyak pengetahuan, sedangkan para audiens memiliki begitu banyak pertanyaan. Apa jadinya?
Anda dapat memanfaatkan hasil riset Anda untuk“memancing” para audiens agar terus menggali. Terus merasa ingin tahu. Berikanlah apa yang mereka mau sedikit demi sedikit. Buatlah para audiens tetap“terhipnotis”. Buatlah para audiens tetap menyisakan semacam pertanyaan keingintahuan di kepala mereka agar Anda dapat membawa para audiens“hanyut” ke tahap selanjutnya. Caranya?
Masukkan wawasan kualitatif dan kuantitatif
Seperti yang telah disinggung di atas, Anda membutuhkan modal yang cukup untuk“menguasai” para audiens. Lebih efektif mana, wawasan kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya, Anda butuh keduanya. Artinya, Anda harus siap bekerja lebih keras demi memenuhi kebutuhan audiens dan mesin pencari.
Faktanya, tidak cukup hanya sekadar“bercerita”. Anda butuh data, fakta, dan angka. Karena audiens menginginkan itu. Di sinilah letak tantangan yang harus Anda hadapi. Bagaimana memadukan antara seni dan ilmu pengetahuan. Berikan yang mereka mau. Jelaskan apa yang ingin mereka tahu, namun dengan cara yang lebih ringan, storytelling. Metode yang lebih mudah mereka pahami dan lebih mudah diterima oleh pikiran mereka. Sekali Anda mendapatkan perhatian, Anda dapat“menawan” para audiens untuk tetap bersama Anda menuju ke tahap selanjutnya.
Pada dasarnya para audiens hanya akan mencari tahu apa yang ingin mereka tahu. Dengan kata lain, sangat mungkin mereka akan mengabaikan hal-hal yang mereka anggap tidak penting untuk diketahui. So, sajikan apa yang memang mereka butuhkan, buang yang tidak perlu. Hal ini juga untuk menghindari kebosanan supaya mereka tidak“kabur”.
Trik “if then” storytelling (blog.visme.co)
Intinya, para audiens menginginkan sebuah konten yang menarik, berbobot, namun tidak memberatkan pikiran mereka. Di sinilah fungsi dari kemampuan storytelling. Membuat sebuah konten yang sebenarnya cukup berbobot, menjadi lebih ringan dan mudah untuk dipahami. Perlahan, Anda dapat“menyisipkan” tujuan bisnis Anda dalam setiap konten yang Anda sajikan. Jika Anda ingin tahu lebih dalam mengenai materi ini, nantikan pembahasan selanjutnya.